Tuesday, November 30, 2010

PENGALAMAN & PEMIKIRAN AGAR TAMAN BACAAN MANDIRI & BERKELANJUTAN


Semenjak saya menjadi Guru Matematika SMA Negeri 49 dan SMP 131 tahun 1977 di Kecamatan Pasar Minggu, batas kota Jakarta Selatan, hal yang mengherankan saya adalah masih sangat jarangnya warga masyarakat (Betawi Asli) yang mengenyam pendidikan sampai lulus SMP, apalagi SMA/SMK dan perguruan tinggi. Keterampilan usaha ekonomi yang dominan hanyalah di bidang pertanidan dan perkebunan buah-buahan (Lagu Pepaya, Mangga Pisang jambu dibeli di Pasar Minggu). Dalam penelaahan mendalam, banyak hal yang menjadi penyebabnya, diantaranya sekolah harus bayar dan orang tua belum memiliki pemikiran pendidikan adalah investasi masa depan. Untuk pesta, mereka sanggup melaksanakan selama 3 hari 3 malam dengan berbagai jenis hiburan, pernikahan usia dini (kurang dari 16 tahun) dsb.

Dalam konteks kesadaran orang tua tersebut, sangat berbeda dengan asal saya Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, yang rela berhutang agar anaknya bisa membiayai sekolahnya. Dalam usia yang relatif muda, 21 tahun ketika itu saya tinggal di salah satu keluarga siswa saya, bermasyarakat dan berhasil mengkritalisasikan cara untuk meningkatkan “pendidikan, baik secara formal maupun non formal”, yakni :

1. Usia sekolah 10-19 tahun, saya ajak untuk membentuk usaha bersama, membuat pupuk, membuat kompos, membuat pot semen, kerajinan Janur, memborong pembuatan kolam limbah dan hasilnya untuk biaya sekolah.

2. Usia di atas 19 tahun/tidak bersekolah, saya berikan pinjaman buku-buku, bacaan dari pembentukan karakter sampai dengan keterampilan usaha ekonomi di berbagai bidang. Permasalahan “ketidakmampuan saya untuk memperbarui buku/bahan bacaan”, walaupun saya telah berusaha mencari buku/bacaan dari membeli bekas, meminta berbagai perusahaan, kedutaan, teman dsb.

Untuk mereka yang masih berusia sekolah, walaupun pelan, dapat membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan mereka untuk terus melanjutkan pendidikananya. Dalam beberapa kasus setelah menyelesaikan SMP maupun SMA, saya bawa untuk mendaftar menjadi Anggota TNI, Satpam Perbankan maupun memasuki Perguruan Tinggi status Ikatan Dinas. Sedangkan untuk yang berusia di atas 18 tahun/tidak sekolah, kurang dari 1 tahun kegiatan pemberian pinjaman buku/bacaan terhenti, renewable tak berhasil saya wujudkan.

Suatu hari pada tahun 1980, saya menerima pesanan untuk membuat kerajinan janur untuk pesta pernikahan, setelah selesai bukan uang yang saya peroleh tetapi berbagai jenis makanan, buah-buahan dan saya juga diberikan santapan makanan yang berlebih. Malamnya saya merenung dan saya temukan sesuatu yang sangat berharga yakni “budaya masyarakat di sini lebih suka memberi materi, asal bukan berwujud uang dan apabila materi itu dikonversikan sebenarnya juga bernilai uang”.

Dari temuan di atas saya temukan jawab untuk bisa menyediakan buku/bacaan menerus, yakni peminjam saya bebankan membawa materi apa saja, baik daun pisang, papaya, jambu, kelapa dsb. Hasilnya benar-benar menggembirakan, jauh melebihi dari target yang saya tetapkan berujung dengan adopsi Pak Lurah Ciganjur dan dengan formula yang sama disebarluaskan di seluruh RW, dikelola oleh Karang Taruna. Sayangnya, sekitar tahun 1985 kegiatan dimaksud terhenti kembali dan penyebab utamanya adalah tidak adanya pengelola, pengelola semula telah bekerja maupun kuliah dan tidak memiliki waktu, sementara harga tanah yang terus naik telah merubah perilaku masyarakat yang signifikan melemahkan. Sejalan dengan hal itu, saya juga tengah melanjutkan kuliah kembali, mencari tambahan penghasilan keluarga (saya sudah berkeluarga dan mulai diberikan buah hati).

Rupanya api dalam hati saya tak pernah mati, berawal dari saya mencermati kegiatan amsyarakat pada padi, sore dan malam hari senang sekali mereka ngobrol di warung kopi. Terpikirkan, apabila pemilik warung juga menyediakan buku/bacaan, maka mereka akan lebih lama di warung dan belanja juga lebih banyak, kalau sebagian digakan untuk membeli buku, maka renewable akan terjadi. Bersamaan saat itu, pada pertengahan tahun 1988, saya dimutasi ke Bidang Pendidikan Masyarakat Kanwil Depdikbud DKI Jakarta, saya membuat tulisan perihal “Perpustakaan Masyarakat dan Warung Kopi”. Setelah melalui paparan diskusi dan berbagai perbaikan sana sini, pada tahun 1990 menjadi salah satu Program Proyek Inovasi di Direktorat Dikmas Depikbud.

Program Proyek Inovasi Perpusataan Masyarakat merupakan keputusan yang berani dari Bapak H Anwas Iskandar, Direktur Dikmas yakni merubah dari kebiasaan hanya memberikan buku, menjadi pemberian dana yang digunakan untuk pembelian buku yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, modal usaha (warung kopi atau lain) dan sarana pendukung. Di DKI Jakarta, program berjalan dengan bagus, terukur secara kuantitas maupun kualitas. Sayangnya pada tahun 1994, terjadi pergantian Direktur dan program kembali seperti semula yakni “hanya menyediakan buku/bacaan”, sementara saya sudah mutasi ke SKB Cilandak.

Semenjak saya ditugaskan di Bidang Dikmas, virus komputer dan internet saya sebarkan dan semakin menyebar di SKB Cilandak Jakarta Selatan, mapun di tempat lain saya ditugaskan, terutama bagi staf maupun teman dan relasi terdekat. Adanya peranngkat dimaksud benar benar menjadi sumber pengetahuan/bacaan yang potensial, terlebih pada era teknologi informasi ini.

Dari uraian di atas dan beberapa pemikiran yang masih cukup potensial untuk dilakukan dalam konteks Pengelolaan Taman Bacaan agar bisa membeli buku/bacaan baru (renewable) dan berlangsung mandiri berkelanjutan (continueing) adalah :

1. Pembaca/peminjam membayar dengan barang apapun yang bisa dikonversi bernilai ekonomi

2. Dikelola terintgrasi dengan usaha Warung Kopi, Mie Instan maupun makanan maupun lain (atau di Toilet/MCK Umum ???)

3. Menggunakan perangkat Komputer dan jaringan internet kKeliling, dengan memberikan jasa membuka akses, mencetak bahan informasi dan menjual pulsa, flashdisk dsb

4. Keliling memberikan pinjaman buku dan menyediakan produk lain untuk dijual, misalnya alat dan bahan praktek (Boga, kerajinan tangan/manik2, kosmetik, pertanian, peternakan dsb). Hal ini juga untuk mengantisipasi operasional cost (bahan bakar dan uang lelah pengelola).

5. Apabila bertstatus program yang dibiayai APBN/APBD, kompensasi untuk Pembina harus tersedia dalam jumlah yang pantas/bulan sampai kegiatan pengelolaan mandiri terwujud (multi years)

Demikian pengalaman dan pemikiran saya yang kiranya dapat dimanfaatkan. Salam “mencerdaskan bangsa dengan buku/bacaan”. Yuk diskusikan....

No comments:

Post a Comment